Bisikan Bintang di Malam Hari

Bisikan Bintang di Malam Hari
jalatogel layartogel visitogel basreng188 gala288 jangkartoto

Bisikan Bintang di Malam Hari

Udara sore terasa sejuk di kulit kami saat kami menyusuri jalanan kota kecil kami yang familiar di pinggiran Bandung. Langit bagaikan kanvas ungu tua dan biru, bintang-bintang baru mulai berkelap-kelip di atas kami. Kau, Viona, dengan rambut pendekmu membingkai wajahmu, menatap langit dengan rasa takjub yang kurasa luar biasa menawan. Bisikan Bintang di Malam Hari Kami baru saja pulang sekolah, langkah kaki kami seirama saat kami pulang.

“Kau tahu, aku selalu menyukai kesunyian malam,” kataku, memecah keheningan yang nyaman di antara kami. “Seolah dunia ini milik kita dan bukan milik siapa pun.”

Kau tersenyum mendengarnya, matamu memantulkan cahaya bulan. “Aku tak pernah benar-benar memikirkannya seperti itu. Tapi kau benar, ini damai.”

Kami berbelok ke gang sempit, jalan pintas yang kami berdua kenal baik. Lampu-lampu jalan membentuk bayangan panjang, dan suara-suara kota memudar menjadi dengungan yang jauh. Hanya ada kau dan aku, dan listrik yang telah membangun di antara kita selama bertahun-tahun.

Aku selalu tertarik padamu, Viona. Kecerdasanmu, kecerdasanmu, dan kecantikanmu yang tak terbantahkan bagaikan panggilan sirene. Tapi lebih dari itu; caramu menertawakan leluconku, caramu menantangku, dan caramu menatapku ketika kau pikir aku tak memperhatikan.

Saat kita berjalan, lengan kita saling bersentuhan, mengirimkan percikan api ke tulang punggungku. Aku tak tahan lagi. Aku berhenti, dan kau berbalik menghadapku, ekspresimu bercampur antara terkejut dan penasaran.

“Wisnu, ada apa?” tanyamu, suaramu nyaris berbisik.

Aku melangkah mendekatimu, mempersempit jarak di antara kita. “Aku tak bisa berpura-pura lagi, Viona. Aku menginginkanmu. Aku sudah lama menginginkanmu.”

Matamu terbelalak, dan aku bisa melihat dadamu naik turun dengan cepat seiring napasmu tercekat. “Aku… aku juga menginginkanmu, Wisnu,” kau mengakui, suaramu bergetar penuh hasrat.

Tanpa sepatah kata pun, kugenggam wajahmu dan kucium. Ciuman itu penuh nafsu dan hasrat, penuh kerinduan dan gairah yang terpendam di bawah permukaan. Kau membalas dengan semangat yang sama, tanganmu mencengkeram bagian depan bajuku saat kau menarikku lebih dekat.

BACA JUGA : SUATU KEGIATAN DI AKHIR PETANG

Kita tak menyadari dunia di sekitar kita, tenggelam dalam rasa dan sentuhan satu sama lain. Tanganku menjelajahi tubuhmu, merasakan lekuk pinggul dan punggungmu. Aku ingin menjelajahi setiap inci dirimu, menjadikanmu milikku dengan segala cara yang mungkin.

“Ayo ke tempatku,” katamu terengah-engah, menjauhkan diri sedikit agar bisa bicara. “Lebih dekat.”

Kita praktis berlari ke rumahmu, tangan kita bertautan, tawa kita menggema di jalanan yang kosong. Begitu kita melewati pintu, kita kembali bercumbu, berganti pakaian saat tertatih-tatih menuju kamarmu.

Ranjangmu berantakan dengan kaki-kaki yang kusut dan kulit yang panas. Aku mencium lehermu, berlama-lama di titik sensitif di belakang telingamu yang membuatmu mendesah. “Kau cantik sekali, Viona,” gumamku, tanganku menangkup payudaramu, ibu jariku menggoda putingmu hingga membentuk puncak yang keras.

“Aduh, sialan, Wisnu,” kau terengah-engah, melengkungkan tubuh menerima sentuhanku. “Aku membutuhkanmu. Aku ingin merasakanmu di dalamku.”

Aku tak bisa menolakmu lebih lama lagi. Aku memposisikan diri di antara kedua kakimu, kepala penisku menggoda lubang basahmu. Kita berdua menunduk, menyaksikan aku perlahan mendorong ke dalam dirimu. Pemandangan tubuh kita menyatu hampir tak tertahankan.

“Kau begitu rapat, begitu basah untukku,” erangku, saat aku memenuhimu sepenuhnya.

Kau melingkarkan kakimu di pinggangku, mendesakku lebih dalam. “Lebih keras, Wisnu. Persetan denganku lebih keras.”

Aku menurut, menciptakan ritme yang membuat kami berdua berada di ambang kenikmatan. Setiap dorongan disambut dengan teriakan kenikmatan darimu, kuku-kukumu menancap di punggungku saat kau memenuhiku dengan belaian demi belaian.

“Aku hampir, sangat hampir,” kau terengah-engah, matamu bertemu dengan mataku.

Aku meraih di antara kita, menemukan klitorismu dengan ibu jariku. Rangsangan tambahan jalatogel itu sudah cukup untuk membuatmu mencapai puncak kenikmatan. Kau datang sambil berteriak, vaginamu mencengkeram penisku, memeras susuku hingga aku tak bisa menahannya lagi. Dengan dorongan terakhir, aku meledak di dalam dirimu, tubuh kita bergetar serempak saat kita menikmati gelombang orgasme kita.

Ambruk di ranjang di sampingmu, aku menarikmu mendekat, tubuh kita masih terhubung erat. Kita berbaring di sana dalam diam, mengatur napas, jantung kita berdetak seirama.

“Itu… luar biasa,” katamu, suaramu dipenuhi kekaguman dan kepuasan.

Aku mencium puncak kepalamu, rasa puas menyelimutiku. “Itu lebih dari itu, Viona. Itu segalanya.”

Kami tetap seperti itu untuk waktu yang lama, terkungkung satu sama lain, hingga dunia nyata mulai merayap kembali. Namun untuk malam yang sempurna itu, hanya ada kami, dua jiwa yang terjalin dalam tarian setua waktu.

Saat kami akhirnya terlelap, aku tahu bahwa apa pun yang akan terjadi di masa depan, momen ini, kenangan ini, akan terukir di hatiku selamanya. Dan ketika kau berbisik, “Aku mencintaimu, Wisnu,” dalam kesunyian malam, aku tahu tanpa ragu bahwa akulah pria paling beruntung di dunia.

Post Comment

You May Have Missed