CERITA HOROR
Alam dan jiwa, Alam pedesaan, Bisikan sawah, Cerita inspiratif, Filosofi kehidupan, Inspirasi kehidupan, Kearifan lokal, Ketenangan batin, Makna kehidupan, Meditasi alam, Misteri jiwa, Misteri kalbu, Misteri kehidupan, Perjalanan batin, Puisi alam, Puisi spiritual, Refleksi diri, Renungan hati, Spiritualitas nusantara, Suara hati
admin1
1 Comments
Bisikan Sawah Misteri Kalbu
Matahari baru saja terbenam ketika aku, ijah, turun dari bus, aroma tanah lembap dan hamparan sawah yang familiar memenuhi hidungku. Desa ini tak banyak berubah sejak ku pergi ke kota, tetapi beban kepergian ayahku terasa berat di udara. Penduduk desa, berpakaian hitam muram, menyambutku dengan pelukan hangat dan bisikan belasungkawa. Kau bisa merasakan beratnya Bisikan Sawah Misteri Kalbu tatapan mereka, rasa ingin tahu tentang gadis kota yang telah kembali. Aku bisa merasakan panasnya tatapan mereka, rasa ingin tahu tentang gadis kota yang telah kembali.
Rumah itu sunyi, terlalu sunyi, saat ku melangkah masuk. Aroma melati dari kebun tercium melalui jendela yang terbuka, sangat kontras dengan udara steril apartemen kota. Aku berganti pakaian dengan gaun katun sederhana, kainnya yang sejuk terasa nyaman di kulitku. Malam itu hangat, dan udaranya pekat dengan janji hujan.
Saat ku duduk di beranda, menyesap segelas air kelapa segar, aku bisa merasakan kehadiran sesuatu, atau seseorang, yang bersembunyi di balik bayangan. Aku menepisnya sebagai paranoia yang dipicu duka dan kembali ke kamar. Rumah berderit di sekelilingku, setiap suara mengingatkanku akan kepergian ayahku.
Tengah malam datang, udara semakin dingin. Aku menarik selimut tipis lebih erat, mataku terasa berat karena kantuk. Tiba-tiba, ruangan semakin dingin, dan aku merasakan kehadiran sesuatu, di tepi tempat tidurku. Aku duduk, jantungku berdebar kencang.
“Ijah,” bisik sebuah suara, suara yang aku kenal. “Ini aku, Ayahmu Tono.”
Aku terkaget, tanganku menutup mulutku. “Ayah? Apakah itu Ayah?” Kau bisa melihatnya, atau lebih tepatnya, bayangannya yang berkilauan, matanya hangat dan penuh kasih seperti yang kau ingat.
“Ijah, sayangku,” katanya, suaranya seperti belaian lembut. “Aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku.”
Aku mengangguk, air mata menggenangi mataku. “Apa pun, Ayah. Apa yang kau butuhkan?”
Ia tersenyum, kilatan nakal di matanya. “Aku ingin kau merasakan kenikmatan hidup, Ijah.
Aku mengerutkan kening, bingung. “Tapi Ayah, aku—”
BACA JUGA : GURUKU TEMAN SEKS DAN FANTASI LIARKU
Ia mengangkat tangan, membungkamku. “Aku tahu kau menahan diri, Ijah. Aku tahu kau telah menyangkalnya, menyangkal kehidupanmu. Tapi Ijah, kau masih muda, kau cantik, dan kau pantas merasakan kenikmatan.”
Saat ini aku merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhku, kehangatan yang tak ada hubungannya dengan selimut. Aku bisa merasakan tubuhku merespons, putingku mengeras, vaginaku basah. Aku menggigit bibirku, berusaha menahan erangan yang mengancam akan keluar.
“Ijah,” bisiknya, suaranya seperti belaian lembut. “Biarkan aku menunjukkan kepadamu apa yang telah kamu lewatkan.”
Lalu aku mengangguk, tubuhku terasa nyeri karena butuh kehangatan. Aku bisa merasakan tangannya di tubuhku, jari-jari halus menelusuri lekuk payudaraku, pinggulku yang berisi. Aku terkejut, tubuhku melengkung menerima sentuhannya.
“Ayah,” bisikku, suaraku seperti permohonan lembut. “Aku membutuhkanmu.”
Ia tersenyum, kilatan nakal di matanya. “Aku tahu, sayangku. Dan aku di sini untukmu.”
“Ijah,” bisiknya, suaranya seperti belaian lembut. “Biar kutunjukkan apa yang selama ini kau lewatkan.”
Pada akhirnya aku bisa merasakan tangannya di tubuhku, jari-jari halus jalatogel menelusuri lekuk payudaraku, tonjolan pinggulku. Aku terkejut, tubuhku melengkung karena sentuhannya. Aku bisa merasakan bibirnya di leherku, giginya menggores kulitku. Aku mengerang, tubuhku terasa sakit karena aku sedang membutuhkannya.
1 comment