CERITA DEWASA
cerita gelandangan dan perlawanan, cerita gelandangan lusuh, cerita inspiratif gelandangan, cerita kehidupan jalanan, gelandangan dan pembangkangan, gelandangan di kota, gelandangan penuh luka, jalanan dan penderitaan, jembatan kehidupan keras, jembatan pembangkangan, kehidupan di jembatan, kehidupan tanpa rumah, kehidupan tunawisma, kisah gelandangan, kisah hidup jalanan, kisah manusia terpinggirkan, kisah perjuangan hidup, kisah realita kehidupan, perjalanan hidup keras, realitas sosial jalanan
admin1
0 Comments
Jembatan Pembangkangan Seorang Gelandangan Lusuh
Jembatan Pembangkangan Seorang Gelandangan Lusuh
Di tengah hiruk pikuk kota, tempat deru lalu lintas hanya tinggal kenangan dan bau sungai bercampur bau musk kelalaian manusia, hiduplah seorang pria bernama Asep. Ia seorang gelandangan, kulitnya tergores kerasnya hidup, matanya memancarkan kilatan perlawanan yang datang bersama ketidakpedulian masyarakat selama bertahun-tahun. Jembatan Pembangkangan Seorang Gelandangan Lusuh Di usianya yang empat puluh, Asep sungguh menawan—tak bercukur, tubuhnya bak kanvas debu dan kisah-kisah yang tak terungkap, dan sikapnya sekasar kardus tempat ia tidur.
Di sisi lain, Eci sangat kontras dengan dunia tempat Asep tinggal. Sebagai seorang pejabat pemerintah daerah, ia menyusuri jalanan dengan penuh tujuan, kehadirannya mengundang rasa hormat. Lajang dan berusia pertengahan tiga puluhan, kecantikan Eci tak pudar di tengah hiruk pikuk kota; sosoknya, meskipun tegap, menyimpan daya pikat yang sulit diabaikan. Tatapannya yang tajam dan tajam tak luput dari perhatian, dan tatapan itulah yang kini tertuju pada tempat tinggal sementara Asep di bawah jembatan.
Kota sedang berubah, dan dekrit itu datang dari tingkat tertinggi: permukiman kumuh harus dibersihkan, yang terlupakan disingkirkan untuk memberi ruang bagi kemajuan. Tugas Eci adalah menegakkan hukum, menjadi wajah kehendak pemerintah. Ia mendekati Asep dengan ketegasan seseorang yang terbiasa dipatuhi.
“Asep, kau tahu kenapa aku di sini,” Eci memulai, suaranya tenang meskipun ketegangan terasa nyata. “Gubernur dan wali kota, mereka ingin tempat ini dibersihkan. Kau harus pergi.”
Tawa Asep menggema di gua beton itu, suara yang seolah mengejek gagasan tentang otoritas. “Dan siapa yang akan memaksaku, hah? Kau?” Matanya menyapu Eci, sebuah penilaian cabul yang tak menyisakan ruang untuk imajinasi.
BACA JUGA : BUNGA SAKURA DAN BISIKAN CINTA DUA INSAN
Eci berdiri teguh, tekadnya tak tergoyahkan. “Ini bukan permintaan. Area ini dijadwalkan untuk dihancurkan. Kau tidak bisa tinggal di sini.”
Panas musim panas terasa menyesakkan, udara dipenuhi ancaman badai. Tatapan Asep menggelap, kekesalannya berubah menjadi amarah. “Kau pikir kau bisa datang ke sini begitu saja dan mengambil milikku? Ini rumahku!” Suaranya meninggi, geraman yang seolah datang dari lubuk hatinya.
Tangan Eci secara naluriah meraih ponselnya, siap meminta bantuan. Ia tahu risiko pekerjaannya, sifat manusia yang tak terduga ketika terpojok. Namun ia juga tahu kekuatannya, kekuatan yang berasal dari hukum yang diwakilinya.
Asep melangkah mendekat, tubuhnya kini menjulang di atas tubuh Asep. “Mulutmu bagus, Eci. Sayang sekali kalau sampai terjadi apa-apa.” Ancaman itu menggantung di udara, janji mesum yang membuat atmosfer menegang karena bahaya.
Jantung Eci berdebar kencang, tetapi suaranya tetap tenang. “Benarkah begitu, Asep? Mengancam petugas hukum adalah pelanggaran berat.” Jari-jarinya menari-nari di layar, menekan nomor yang sudah ia hafal.
Suara sirene di kejauhan seakan mematahkan mantranya. Mata Asep terbelalak, menyadari bahwa keberaniannya telah melewati batas. Tapi sudah terlambat. Polisi datang, kehadiran mereka sangat kontras dengan kekumuhan bayangan jembatan.
Asep diborgol, hak-haknya terbaca seolah naskah drama yang sudah terlalu sering ia tonton. Eci memperhatikan, campuran kepuasan dan kekecewaan mewarnai pikirannya. Ia pernah melihat tarian ini sebelumnya—pemberontakan, kejatuhan, penyerahan diri yang tak terelakkan.
Dalam minggu-minggu berikutnya, kasus Asep terus bergulir di sistem hukum. Pengadilan tidak berpihak kepada jalatogel mereka yang menolak kemajuan, dan nasib Asep pun ditentukan. Lima tahun di balik jeruji besi, hukuman yang terasa berlebihan sekaligus tidak memadai.
Eci pernah mengunjunginya sekali, setelah vonis dijatuhkan. Ia menemukannya di sel tahanan, tatapannya kosong melompong. “Kenapa kau lakukan itu, Asep? Kenapa kau harus mengancamku?”
Ia menatapnya, topeng pria tangguh jalanan itu melorot, memperlihatkan sesuatu yang rapuh. “Aku tidak ingin kehilangan satu-satunya yang tersisa. Ruangku, kebebasanku… hanya itu yang kumiliki.”
Eci mengangguk, lebih memahami daripada yang disadarinya. “Seandainya saja tidak harus seperti ini.”
Bibir Asep melengkung membentuk senyum masam. “Kau dan aku, Eci. Kau dan aku.”
Bulan demi bulan berlalu, Eci mendapati dirinya memikirkan visitogel Asep lebih sering daripada yang ia akui. Intensitas pertemuan mereka yang begitu nyata, bagaimana tubuhnya memancarkan energi primal—sungguh memabukkan. Ia menghukum dirinya sendiri atas pikiran-pikiran seperti itu, tetapi rasa ingin tahu itu tetap ada, bisikan di benaknya yang tak kunjung padam.
Lalu, pada suatu malam yang hujan, ketika Eci duduk di kantornya dikelilingi tumpukan dokumen dan dengungan lampu neon, sebuah surat tiba. Surat itu dari Asep, tulisan tangannya seperti coretan anak kecil di amplop. Ia membukanya, jantungnya berdebar kencang, bercampur antara khawatir dan penuh harap.
Di dalamnya terdapat selembar kertas, kata-kata yang ditulis dengan pensil tumpul, setiap huruf dipenuhi dengan kesungguhan seorang pria yang tak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Asep menulis tentang penyesalan, tentang kehidupan yang telah dijalaninya, dan tentang ikatan tak terduga yang ia rasakan dengan Eci selama momen-momen panas di bawah jembatan itu.
Surat itu diakhiri dengan sebuah permintaan, permohonan agar Eci mengunjunginya untuk terakhir kalinya. Ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan layartogel, sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Eci melipat surat itu, pikirannya berpacu. Ia tahu risikonya, potensi skandalnya, tetapi tarikan rasa ingin tahunya terlalu kuat untuk ditolak. Ia akan pergi, setidaknya untuk memuaskan rasa penasarannya yang mengerikan terhadap pria yang telah mengancam akan menghancurkannya di balik bayang-bayang kota.
Hari kunjungan itu tiba, langit biru cerah yang seakan bertolak belakang dengan gejolak di dada Eci.














Post Comment