Kejadian Tak Terencana Dengan Seorang Mekanik Tampan

Kejadian Tak Terencana Dengan Seorang Mekanik Tampan
jalatogel layartogel visitogel basreng188 gala288 jangkartoto

Kejadian Tak Terencana Dengan Seorang Mekanik Tampan

Matahari bersinar terik tanpa ampun di jalanan Kota X yang ramai, gelombang panas yang membubung dari aspal menciptakan fatamorgana berkilauan yang menari-nari di cakrawala. Susi, dengan rambut hitam legamnya yang diikat ekor kuda rapi, mencengkeram kemudi mobilnya yang temperamental dengan kedua tangan saat ia menyusuri jalanan yang berbahaya dan berlubang. AC-nya telah mati beberapa Kejadian Tak Terencana Dengan Seorang Mekanik Tampan jam yang lalu, membuatnya berkeringat deras di balik gaun tipis nan seksi yang melekat di lekuk tubuhnya bagai kulit kedua.

Tiba-tiba, dengan suara berderak dan batuk, mobilnya mogok, mesinnya berderak-derak dengan derak maut terakhir sebelum akhirnya terdiam. “Sial,” gerutu Susi, jantungnya mencelos saat ia mengarahkan mobilnya ke pinggir jalan. Ia berada bermil-mil jauhnya dari tujuannya, rumah nyaman neneknya di Kota Y, dan kini terdampar di antah berantah tanpa ada yang bisa menolong.

Sambil mengamati sekeliling untuk mencari tanda-tanda peradaban, ia melihat papan kecil darurat bertuliskan “Bengkel Mobil Dudu” di ujung jalan berdebu. Tanpa pilihan lain, Susi meraih tasnya dan berjalan ke bengkel, sol sepatunya beterbangan di setiap langkah.

Bengkel itu penuh dengan aktivitas, dengan para mekanik berseragam overall berlumuran minyak yang sibuk mondar-mandir di sekitar berbagai kendaraan yang kondisinya rusak parah. Di tengah semua itu adalah Dudu, seorang pria dengan wajah tegap dan tubuh berotot yang memungkiri usianya yang menginjak 45 tahun. Tangannya yang kapalan dan kuat merupakan bukti kerja keras bertahun-tahun, dan sorot matanya memancarkan kebaikan yang langsung membuat Susi merasa tenang.

Ia menghampirinya, suaranya gemetar saat menjelaskan masalah mobilnya. Dudu mendengarkan dengan saksama, mengangguk sambil menyeka tangannya dengan kain lap. “Akan kulihat, tapi sepertinya akan butuh waktu,” katanya, suaranya terdengar berat dan menenangkan. “Silakan tunggu di sini, atau kalau kau butuh tempat menginap, aku punya kamar kosong di rumahku.”

Reaksi awal Susi memang terkejut, tetapi membayangkan bermalam di kota asing itu terasa menakutkan. Ia mempertimbangkan pilihannya dan, dengan desahan pasrah, menerima tawarannya. “Terima kasih, Dudu. Aku menghargai bantuanmu,” katanya sambil tersenyum kecil.

BACA JUGA : PERTEMUAN RAHASIA DI JALAN YANG SEPI DAN SENYAP

Setelah Dudu menderek mobilnya kembali ke bengkel, mereka menuju ke rumahnya yang sederhana di pinggiran kota. Rumah itu sederhana, satu lantai, tetapi bersih dan nyaman. Dudu mengantarnya ke kamar tamu, tempat ia dengan penuh syukur merebahkan diri di tempat tidur, stres hari itu akhirnya menghampirinya.

Panasnya menyengat, dan tanpa berpikir dua kali, Susi menanggalkan pakaiannya hingga hanya mengenakan pakaian dalam, seprai dingin itu seperti balsem bagi kulitnya yang kepanasan. Ia pun tertidur dalam hitungan menit, mimpinya dipenuhi bayangan montir tampan yang datang menyelamatkannya.

Ketika Susi terbangun, ruangan itu bermandikan cahaya senja yang lembut. Ia meregangkan tubuh dengan jalatogel lesu, bayang-bayang kejadian hari itu kembali membanjirinya. Ia bangkit dari tempat tidur dan, masih mengenakan pakaian dalam, melangkah pelan-pelan menyusuri rumah untuk mencari Dudu.

Ia menemukannya di ruang tamu, perhatiannya teralihkan oleh layar ponselnya. Mendengar suara langkahnya, ia mendongak, matanya terbelalak kaget. Susi tiba-tiba menyadari keadaannya yang tak berpakaian, tetapi rasa panas yang menjalar ke pipinya bukan semata-mata karena malu. Ada percikan ketertarikan yang tak terbantahkan di antara mereka, arus yang berdengung di udara dan membakar ujung-ujung sarafnya.

Dudu tampaknya juga merasakannya, tatapannya terpaku pada payudara Susi yang membuncit, lekuk pinggulnya. “Aku… aku tidak menyangka kau sudah bangun,” ia tergagap, cepat-cepat mengalihkan pandangannya.

Susi melangkah lebih dekat, jantungnya berdebar kencang. “Aku tidak bisa tidur,” akunya, suaranya nyaris berbisik. “Aku terlalu… terangsang.”

Kata-kata itu menggantung di antara mereka, tajam dan provokatif. Mata Dudu menggelap karena hasrat, dan segala kepura-puraan sopan lenyap di tengah panasnya ruangan. “Aku menginginkanmu, Susi,” geramnya, suaranya serak karena kebutuhan. “Tapi hanya jika kau yakin.”

“Aku yakin,” desahnya, mempersempit jarak di antara mereka. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang panas dan penuh nafsu, lidah mereka saling bertautan saat mereka menyerah pada nafsu yang telah membara di bawah permukaan.

Tangan Dudu menjelajahi tubuh Susi, menjelajahi setiap inci kulitnya yang lembut dan kenyal. Ia menangkup payudaranya, ibu jarinya menggoda putingnya hingga membentuk puncak-puncak yang keras saat ia mengerang di dalam mulutnya. Tangannya sendiri tak tinggal diam, meraba-raba kancing kemejanya hingga ia bisa menggeser jari-jarinya di atas permukaan dada Susi yang kencang.

Dengan geraman pelan, Dudu menggendong Susi dan membawanya kembali ke jalatogel kamar tidur. Ia membaringkannya di tempat tidur, tatapannya melahap Susi sambil menanggalkan sisa pakaiannya. Napas Susi tercekat di tenggorokannya saat melihat tubuh telanjangnya, penisnya tegak, tebal, keras, dan siap untuknya.

Susi mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, jari-jarinya melingkari batang penisnya sambil membelainya dari pangkal hingga ujung. Dudu mengerang, pinggulnya secara naluriah bergerak ke arah Susi. “Brengsek, Susi,” gerutunya, kendalinya terlepas. “Kau membuatku gila.”

Sebagai tanggapan, Susi membimbingnya ke arahnya, kakinya terbuka dalam diam sebagai ajakan. Dudu tak membutuhkan dorongan lebih lanjut. Ia memposisikan dirinya di pintu masuk Susi, kepala penisnya menggoda lipatan-lipatan basah dan licinnya sebelum ia menghujamkannya dengan satu gerakan kuat.

Susi menjerit, tubuhnya meregang menyesuaikan ukuran Dudu. Rasa terbakar yang nikmat, rasa penuh yang tak disadarinya ia idamkan. Dudu menciptakan ritme tanpa henti, pinggulnya berdenyut saat ia menghujam ke dalam dirinya berulang kali.

Tubuh mereka bergerak bersama dalam tarian yang setua waktu, setiap dorongan membawa mereka semakin dekat ke tepian. Kuku-kuku Susi menggores punggung Dudu, orgasmenya memuncak dengan intensitas yang membuatnya tak bisa bernapas. “Aku hampir sampai,” serunya terengah-engah, dinding-dinding dalamnya bergetar di sekitar penis Dudu.

Dengan dorongan terakhir yang dalam, Dudu membuat mereka berdua jatuh terjerembab. Orgasme Susi menerjangnya, gelombang kenikmatan yang begitu kuat hingga membuatnya melihat bintang-bintang. Dudu mengikutinya hingga ke tepi jurang, penisnya berdenyut saat ia mengisinya dengan cairan panas dan lengketnya.

Mereka berbaring di sana setelahnya, tubuh mereka basah oleh keringat dan terlilit seprai kusut. Malam masih muda, dan seiring napas mereka melambat, mereka merasa siap untuk ronde kedua.

Kali ini, Susi yang memimpin. Ia mendorong Dudu ke punggungnya dan mengangkanginya, matanya berbinar nakal saat ia mengambil kendali. Ia menungganginya dengan bebas, pinggulnya bergelombang saat ia mengejar visitogel kenikmatannya. Dudu menatapnya dengan mata sayu, tangannya menangkup payudaranya yang bergoyang saat ia menggunakan tubuhnya untuk kesenangannya sendiri.

Percintaan mereka liar dan tanpa hambatan, sebuah perayaan hasrat duniawi yang liar. Mereka menjelajahi tubuh satu sama lain, tangan dan mulut mereka meninggalkan jejak api di mana pun mereka bersentuhan. Mereka mencoba setiap posisi yang terpikirkan, dari misionaris hingga doggy style, masing-masing lebih intens daripada sebelumnya.

Saat cahaya fajar pertama merayap menembus tirai, mereka akhirnya berpelukan, kenyang dan lelah. Susi berbaring dengan kepala di dada Dudu, mendengarkan detak jantungnya yang teratur saat mereka berdua terlelap.

Ketika ia terbangun, ia mendengar suara Dudu. “Mobilmu sudah beres,” katanya, senyum mengembang di bibirnya. “Dan aku sudah menyiapkan sarapan, kalau kau lapar.”

Susi meregangkan badan, tubuhnya terasa nyeri nikmat karena aktivitas semalam. Ia bergabung dengan Dudu di meja dapur, tempat mereka makan dalam keheningan yang nyaman, sesekali mata mereka bertemu dengan senyum penuh arti.

Setelah sarapan, Susi mengemasi barang-barangnya dan bersiap untuk pergi. Dudu mengantarnya ke mobilnya yang kini sudah berfungsi, matahari pagi memancarkan cahaya hangat di atas pemandangan. “Terima kasih, Dudu,” katanya, berjinjit untuk mengecup lembut bibir Dudu. “Untuk semuanya.”

“Kapan saja, Susi,” jawabnya, suaranya penuh kehangatan yang tulus. “Kamu diterima di sini kapan saja.”

Dengan lambaian terakhir, Susi masuk ke mobilnya dan menyalakan mesin. Sambil melaju pergi, ia tak kuasa menahan diri untuk melirik ke layartogel kaca spion, untuk terakhir kalinya melihat pria yang telah memberinya bukan hanya mobil yang telah diperbaiki, tetapi juga malam penuh cinta yang tak terlupakan.

Sambil melanjutkan perjalanan ke rumah neneknya, Susi tak kuasa menghapus senyum di wajahnya. Ia memulai perjalanan sederhana, tetapi apa yang ia temukan jauh lebih dari itu. Dan seiring perjalanan yang terbentang di hadapannya, ia tahu bahwa kenangan malamnya bersama Dudu akan menjadi kenangan yang akan ia kenang untuk waktu yang lama.

Post Comment

You May Have Missed